div id='fb-root'/>

Jumat, 25 Mei 2012

peradilan di indonesia yang semrawut


Peradilan Sendal Jepit


Peradilan pidana kita untuk kesekian kalinya mempertontonkan peradilan yang sangat memilukan rasa keadilan. Dimulai dari kasus Mbok minah yang dituduh mencuri kakao, kasus pencurian kapuk dll kasus yang menyayat, kini peradilan dan penegakan hukum yang mengusik rasa keadilan terjadi lagi dalam kasus pencurian sandal jepit oleh terdakwa AAL seorang anak kecil yang terpaksa mengaku karena dipukuli oleh oknum Brimob yang mengaku memilki sandal jepit lagi.
Dalam kehidupan hukum yang terjadi di Indonesia dan dalam konteks normative an sich, peradilan seperti ini bukanlah hal yang luar biasa, karena memang hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan jaminan perlindungan setiap orang terhadap gangguan-gangguan orang lain yang tidak berhak. Hukum bertugas menjaga keseimbangan tersebut, tentu melalui alat perlengkapan Negara yang biasa disebut aparatur penegak hukum. Aparat penegak hukum bertugas menegakan hukum tersebut manakala terjadi pelanggaran hukum.
Problemnya adalah, dalam penegakan hokum pidana yang rata-rata masih menggunakan pasal-pasal peninggalan colonial tentu saja diperlukan aparat penegak hukum yang mengerti, memahami dan menghayati bunyi pasal-pasal tersebut dalam konteks keindonesiaan, sebab kalau tidak, aparat penegak hukum akan terjebak dalam pergulatan masalah keadilan. Keadilan adalah tujuan utama dari penegak an hukum. Aparat penegak hukum dituntut untuk mengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut dibuat dalam konteks dan spirit penjajahan dan bertujuan menindas rakyat jajahan. Jadi polisi, jaksa dan hakim harus benar-benar menjalankan norma hukum peninggalan kolonial dalam konteks masa Indonesia merdeka.
Kasus AAL atau kasus sandal jepit ini, apabila dilihat dari optic hukum pidana materil yang sempit (KUHP), tentu saja paling tidak memenuhi unsur pasal 362 KUHP tentang pencurian dan tidak ada yang salah dalam proses penyidikannya. Instrument system peradilan pidana tentu saja sudah boleh memulai prosesnya. Tanpa harus  berfikir apakah kasus AAL ini apabila diproses akan memenuhi rasa keadilan atau tidak, polisi sebagai ujung tombak dari peradilan pidana semestinya harus sudah berfikir, apakah penerapan pasal 362 KUHP dalam kasus AAL ini akan mempunyai arti atau tidak? Kita bisa merujuknya kepada pasal V Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
Pasal V UU NO 1 Thaun 1946 ini memberi batasan tentang penerapan pasal-pasal hukum pidana baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUIHP. Apakah mengajukan perkara pencurian sandal jepit ini akan membawa maslahat bagi tersangka, Negara dan masyarakat? Dari sudut tersangka tentu saja peradilan anak selalu membawa dampak yang negative sesederhana apapun bentuk peradilan itu dilakukan. Dari aspek Negara, peradilan s andal jepit ini akan membebani administrasi peradilan pidana, antara proses dan tujuan yang hendak dicapai tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan. Jadi cost and benefitnya sama sekali tidak diperhitungkan oleh aparat penegak hokum.
Dari sudut pandang optic masyarakat, peradilan terhadap AAL ini dirasakan sebagai sebuah bentuk penindasan Negara terhadap rakyat, karena rakyat masih melihat kasus-kasus besar tidak pernah tersentuh oleh hokum, sementara kasus kecil seperti sandal jepit ini Negara dengan serta merta merespon nya dengan cara mengajukan ke peradilan pidana. Rakyat akan memandang bahwa hukum hanya tajam kepada rakyat kecil tetapi hokum akan tumpul manakala bersentuhan dengan rakyat yang mempunyai staus social, politik dan ekonomi yang tinggi. Summum ius summa iniuria. Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi.
Jargon viat justitia roeat coelum, tegakan hukum walau langit akan runtuh, rupanya diadopsi secara verbal oleh aparat penegak hukum. Padahal dalam konteks penegakan hukum jargon ini harus dimaknai bahwa disana ada asas praduga tak bersalah, asas persamaan di depan hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan. Ada selective law enforcement dalam penegakan hukum tetapi tidak boleh terjadi discriminative law enforcement. Jargon ini dapat dipakai oleh aparat penegak hokum dalam menjalankan dan menegakan hokum.
Walaupun akhir dari peradilan sandal jepit dengan terdakwa AAL ini sudah ada vonis yaitu menyatakan bahwa AAL bersalah dan dihukum dikembalikan kepada orang tua untuk dibina, tetap saja peradilan sandal jepit ini menyisakan persoalan yuridis dan psikologis. Persoalan yuridisnya adalah kenapa vonis hakim menyatakan AAL bersalah mencuri sandal jepit milik seorang oknum brimob, padahal di pengadilan pencurian terhadap sandal jepit milik oknum brimob tersebut tidak terbukti, yang terbukti adalah bahwa sandal jepit yang diambil AAL adalah milik orang lain. Vonis tersebut terkesan karena ada pengaruh opini dari masyarakat dan hakim berusaha menjaga rasa malu penyidik, sebuah peradilan yang tidak dikenal dalam system hukum kita dan masyarakat akan menganggap bahwa peradilan ini adalah peradilan bisik-bisik.
Peradilan terhadap anak seyogyanya dipakai model restorative justice. Walaupun secara formal peradilan anak kita belum memiliki model restorative justice, hakim harus dapat memberi warna tersendiri dan berinisiatif memakai model tersebut, para hakim tidak perlu takut bahwa model yang dipakai tidak sesuai dengan hukum acara atau model peradilan kita yang baku, sebagai seorang profesi yang mempunyai judicial discretion. Para hakim bisa dengan leluasa mengembangkan model ini sebab tujuan utama peradilan kita adalah menghasilkan vonis yang final dan definitive serta membawa keadilan bagi masyarakat.
Bagi atasan para hakim , seyogyanya dikembangkan sifat tut wuri handayani dan menjaga independensi para hakim, jangan sampai hakim yang berfikiran progessif dipanggil karena putusannya tidak lajim padahal hakim tersebut berusaha menyelami rasa keadilan masyarakat. Budaya pemeriksaan oleh Mahkamah Agung atau Komisi yudisial terhadap hakim-hakim yang berani berfikri diluar kebiasaan normative jangan lagi dilakukan, biarkan hakim menggali, mencari dan menemukan rasa keadilan itu dalam masyarakat.
Ada yang kurang memang dalam system peradilan kita ini. Tidak ada pedoman atau peraturan yang bisa membatasi perkara macam apa yang boleh tidak dilanjutkan ke pengadilan (kecuali delik aduan). Jadi kalau terjadi lagi kasus seeperti pencurian sandal jepit ini, tentu saja polisi
tidak boleh meng SP 3 kasusnya karena secara formal barangkali sudah memenuhi persyaratan. Akan tetapi bukankah mengajukan perkara seperti ini di samping akan membebani administrasi peradilan pidana juga akan melukai rasa keadilan masyarakat. Kita tidak boleh berfikir egois bahwa perkara senacam itu tidak layak diajukan ke pengadilan tanpa memberi ruang kepada polisi untuk menghentikan atau paling tidak membuat win-win solution yang semuanya tidak ada yang dirugikan.
Secara normative peradilan kita sudah diatur dalam suatu mekanisme system peradilan pidana, akan tetapi kadang-kadang system itu membelenggu kita manakala terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Dan disini biasanya terjadi kegamangan dikalangan penegak hukum, sementara masyarakat tidak mau atau belum mau berfikir tentang kesulitan penegak hukum dalam menegakan hukum. Oleh karena itu memang doktrin hukum pidana modern mutlak harus dikuasasi oleh aparat penegak hukum sehingga protes atau ketidak puasan masyarakat terhadap jalannya proses peradialn pidana akan semakin menurun. Peradilan pidana harus dijalankan dengan penuh wibawa.
Dalam kehidupan hukum yang terjadi di Indonesia dan dalam konteks normative an sich, peradilan seperti ini bukanlah hal yang luar biasa, karena memang hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan jaminan perlindungan setiap orang terhadap gangguan-gangguan orang lain yang tidak berhak. Seperti kasus – kasus pencurian yang terjadi di Indonesia ini yang marak dengan kasus pencurian yang ringan dan sepele.
Secara sederhana, mencuri dapat diartikan “mengambil sesuatu yang bukan miliknya”. Tindakan mencuri merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh peraturan apapun di dunia ini. Menurut hukum agama, mencuri adalah tindakan dosa. Menurut hukum negara, mencuri adalah tindakan melawan hukum. Begitu juga menurut norma adat yang berlaku diseluruh daerah di Indonesia bahwa mencuri adalah perbuatan yang melanggar adat. Memang wajar seseorang yang melanggar hukum agama, hukum negara, dan norma-norma adat diberi hukuman.
Problemnya adalah, dalam penegakan hokum pidana yang rata-rata masih menggunakan pasal-pasal peninggalan colonial merupakan warisan abad ke 19 yang secara filosofis dan teoritis tidak relevan lagi dengan saat ini, itu berarti  kita lebih silau dan terpana dengan sistem hukum barat. Kini saatnya kita melakukan evaluasi dan bahkan reformasi terhadap sistem hukum kita. Pancasila itu rujuan mutlak. dalam Hukum PIdana, sudah seharusnya nilai-nilai Pancasila dikedepankan, itulah musyawarah mufakat. akan tetapi bangsa ini salah kaprah, nilai luhur tersebut dicampakkan diganti dengan nilai sekularisme. sehingga muncul ungkapan keadilan itu hanya di pengadilan, maka yang terjadi kasus-kasus remeh temeh di bawa ke sidang.
tentu saja didalam kasus seperti ini diperlukan aparat penegak hukum yang mengerti, memahami dan menghayati bunyi pasal-pasal tersebut dalam konteks keindonesiaan, sebab kalau tidak, aparat penegak hukum akan terjebak dalam pergulatan masalah keadilan. Keadilan adalah tujuan utama dari penegak an hukum. Aparat penegak hukum dituntut untuk mengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut dibuat dalam konteks dan spirit penjajahan dan bertujuan menindas rakyat jajahan. Jadi polisi, jaksa dan hakim harus benar-benar menjalankan norma hukum peninggalan kolonial dalam konteks masa Indonesia merdeka.
Seperti kasus sandal jepit ini, apabila dilihat dari optic hukum pidana materil yang sempit (KUHP), tentu saja paling tidak memenuhi unsur pasal 362 KUHP tentang pencurian dan tidak ada yang salah dalam proses penyidikannya. Instrument system peradilan pidana tentu saja sudah boleh memulai prosesnya. Tanpa harus  berfikir apakah kasus AAL ini apabila diproses akan memenuhi rasa keadilan atau tidak, polisi sebagai ujung tombak dari peradilan pidana semestinya harus sudah berfikir, apakah penerapan pasal 362 KUHP dalam kasus AAL ini akan mempunyai arti atau tidak?
jadi untuk menyingkapi tentang KUHP bagaimana kalau kita melakukan evaluasi dan bahkan revormasi tentang hukum peradilan di Indonesia ini khusus nya tentang KUHP. Misalnya kita revisi KUHP tentang pencurian, bagaimana kalau dalam undang undang tentang pencurian itu dibatasi dengan berapa jumlah harga hasil pencurianya atau kerugian yang di alamai koban. Missal jika seseorang mencuri suatu barang dan jika kerugian yanga di alamai korban di atas 10 juta maka hukumanya adalah dengan di penjara sekiana tahuan. Jadi semakin tinggi kerugian yanag di alamia korban maka semakin tinggi juga hukumn yang di berikana kepada tersangaka.
Dan juga bgaimana jika kita hapus hukuman denda, karea menurut saya jika hukuman denda masih berlaku itu berarti hokum berlaku bagi orang yang tidak mampu. Missal ada seorang yang kaya tersangkut tidakan criminal dan jika hukuman denda berlaku maka orang kaya tersebut akan membayar denda tersebut maka di akan bebas dari tindakan criminal yang telah menjeratnya. Jadi itu sama aja dengan hukum bias di beli.

Tidak ada komentar: